Riuh tepuk tangan mendominasi ruang kelas. Semua sibuk memperhatikan sesuatu di depan kelas. Memperhatikan dirimu yang sedang duduk di atas meja dengan gitar kesayanganmu. Kini semua memperhatikanmu di depan sana. Tanpa ada yang tahu keberadaanku. Di pojok belakang kelas, Duduk manis sambil tersenyum pahit. Hatiku menolak untuk diam dan memperhatikan pertunjukan di depan kelas, tapi otakku memaksa untuk diam. Menyaksikan apa yang harusnya tidak aku lihat hari ini. Suaramu benar-benar dapat menghipnotis siapa saja yang mendengarnya. Bahkan gadis yang ada tepat di hadapanmu. Ia menangis, mungkin karena sikap romantis yang kau tunjukkan. Berada di hadapanmu, Mendengar suaramu melantunkan sebuah lagu romantis, Melihat jemarimu yang bergerak memetik senar gitar sebagai pengiring, Menunggu dirimu menyelesaikan sebuah rangkaian kata romantis, dan ... menganggukkan kepala saat dirimu meminta diriku untuk menjadi gadismu. Itu semua, hanyalah khayalanku saat mengharapkanmu dul...
aku senang terhanyut dalam tiap obrolan larut malam denganmu. tanpa khawatir akan hari esok, seakan malam pun tak kenal waktu. rasanya 24 jam pun bahkan tak cukup untuk satu hari. obrolan larut malam yang tak tahu kemana arahnya. hanya berlalu hingga kantuk datang. berakhir pun seolah tanpa akhir yang pasti. karena obrolan malam kemarin akan terus berlanjut hingga malam selanjutnya. aku senang menghabiskan waktu bersama denganmu. meski hanya melalui obrolan larut malam yang singkat. tapi itu bermakna bagiku. omong kosong, kata orang. tapi aku senang. karena bicara omong kosong tidak akan benar-benar berarti jika itu aku dan kau yang lakukan hingga larut malam. karena bagiku semua orang berubah saat larut malam. aku suka itu. aku jadi lebih menunjukan sisiku yang sebenarnya. karena sudah terlalu lelah bersandiwara selama satu hari penuh. kamu saat larut malam, benar-benar kamu yang aku sukai. bergurau tanpa repot memikirkan respon lawan bicaramu, mengeluh tanpa ...
Aku terus mengesat bibirku kasar dengan telapak tanganku. Tanganku beralih menjenggut rambutku sendiri, lalu memukuli tubuhku dan menampar pipiku sendiri. Rasanya hampa. Seperti aku sudah mati rasa. Begitu sadar air mata sudah berhasil lolos jatuh dari kelopak mataku, aku menyekanya dengan kasar. Bagiku percuma menangisi semuanya. Nyatanya semua sudah terjadi. Jika saja aku tidak lemah, jika saja aku berani melawan, aku tak akan jadi seburuk ini. * * * Aku melangkah dengan cepat menyusuri koridor sekolah. Sejak kejadian itu, aku merasa lemah, bahkan tak berguna lagi. Setiap hari akan terus sama seperti sebelumnya. Kemarin, hari ini, besok, lusa maupun minggu depan akan tetap sama. "THALIA!" teriak seseorang yang suaranya sangat familiar di telingaku. Aku tahu jelas siapa pemilik suara itu. Dia yang selalu muncul dalam setiap hariku di sekolah. Dia yang membuat tubuhku selalu merasa was-was setiap berada di sekolah. Aku yang mulai gemetar langsung mempercepat langkah k...