NATALISTER [1/3]

Aku terus mengesat bibirku kasar dengan telapak tanganku. Tanganku beralih menjenggut rambutku sendiri, lalu memukuli tubuhku dan menampar pipiku sendiri. Rasanya hampa. Seperti aku sudah mati rasa. Begitu sadar air mata sudah berhasil lolos jatuh dari kelopak mataku, aku menyekanya dengan kasar. Bagiku percuma menangisi semuanya. Nyatanya semua sudah terjadi. Jika saja aku tidak lemah, jika saja aku berani melawan, aku tak akan jadi seburuk ini.

* * *

Aku melangkah dengan cepat menyusuri koridor sekolah. Sejak kejadian itu, aku merasa lemah, bahkan tak berguna lagi. Setiap hari akan terus sama seperti sebelumnya. Kemarin, hari ini, besok, lusa maupun minggu depan akan tetap sama.

"THALIA!" teriak seseorang yang suaranya sangat familiar di telingaku.

Aku tahu jelas siapa pemilik suara itu. Dia yang selalu muncul dalam setiap hariku di sekolah. Dia yang membuat tubuhku selalu merasa was-was setiap berada di sekolah.

Aku yang mulai gemetar langsung mempercepat langkah kakiku. Namun, ia berhasil menarik rambutku dari belakang sebelum aku sempat menjauh dari tubuhnya. Dia menatap ku dengan tajam seolah aku baru saja merusak barang kesayangannya. Sedangkan aku hanya menatapnya dengan tatapan bertanya.

"Lo!" jari telunjuk kanannya tepat berada di depan wajahku dan tangannya yang lain masih asik menjenggut rambutku.

"Arrgh!"

Nampaknya ia mulai geram, tangannya yang tadi menunjuk tepat di depan wajahku kini menjadi terkepal keras seolah siap memukulku kapan saja ia mau.

"Ikut gue!" perintahnya, lalu menyeretku entah kemana, masih dengan tangannya yang setia berada di rambutku.

Aku tak tahu apalagi yang akan ia lakukan padaku hari ini. Rasanya kali ini aku benar-benar pasrah. Oh, bahkan sudah dari pertama kali ia memperlakukan diriku seperti ini.

* * *

Ia menghempaskan diriku begitu saja ke lantai, membuat pinggulku terasa nyeri. Kini hanya ada aku dan dirinya di gudang sekolah. Mungkin ia akan melakukan apa yang menjadi rutinitas dirinya sejak aku pindah ke sekolah ini. Entahlah, tapi memang biasanya seperti itu.

"Lo!" jari telunjuknya terarah kepadaku.

"Apa yang lo lakuin di sini sama Atha kemarin?" tanyanya sambil menatap tajam seolah aku tersangka penculikan anaknya.

Aku hanya bisa menenggelamkan kepalaku sambil menggeleng dengan cepat.

"Bohong!" bentaknya dengan suara melengking. Sekali lagi, aku hanya bisa menggeleng.

Dia menghampiri diriku. "Berdiri," katanya sambil memegang kedua bahuku, memaksa ku untuk berdiri.

Saat aku sudah berdiri tegap di hadapannya, ia menaruh jarinya di daguku lalu mengangkatnya untuk naik ke atas.

"Gue lagi ngomong sama lo, jadi tatap wajah gue," katanya penuh penekanan.

"Jawab pertanyaan gue yang tadi!" bentaknya tepat di depan wajahku.

Aku sudah biasa dimaki olehnya, bagiku hal ini adalah sarapan dan makan siangku setiap hari di sekolah. Tapi sekali lagi, aku hanya bisa menggeleng.

"Nathalia Prisy, gue tahu lo bisa ngomong. Mulut lo masih berfungsi," katanya seolah ia sudah terbiasa mengobrol dengan ku.

"Thalia, jawab dengan jujur atau ... lo tahu akibatnya, kan?" ancamnya dengan santai.

Ia selalu tahu kelemahanku. "A-alia e-eng-enggak nga-pa-nga-pain, k-ka," jawabku tergagap.

Tatapannya mengisyaratkan seakan ia tidak puas dengan jawabanku. Ia menampar pipiku, menjenggut rambutku, mendorong tubuhku ke lantai, mengangkat tubuhku yang lalu ia dorong lagi hingga kembali tersungkur ke lantai sambil terus berkata, "Lo bohong, Thal."

Setelah lelah ia menyiksaku, ia membelakangi tubuhku. Napasnya terengah-engah.

"Cukup, Thal. Jangan rebut kebahagiaan gue lagi," ucapnya getir.

Sejurus kemudian, ia menghadapkan tubuhnya lagi di depanku. "Enggak mungkin kalian enggak ngapa-ngapain. Jadi lo enggak mau cerita? Hah!?"

Aku tak bisa membaca mimik wajahnya. Tapi entah mengapa mataku memanas dan air mataku pun mulai berlinang.

Perlahan aku menceritakan semuanya dengan suara bergetar. Aku tak sanggup mengingat apa yang kemarin terjadi di ruangan ini terhadap diriku. Air mataku sudah tak bisa aku tahan lagi. Aku membiarkan banyak air mata terjatuh begitu saja dari kelopak mataku.

"Ma-maaf," kataku lirih setelah selesai menceritakan semuanya.

Ia menatap lurus kedepan dengan tatapan kosong. Sejurus kemudian ia menghembuskan napas seolah ia lelah dengan semua ini.

"Lagi. Lo buat gue semakin benci sama lo," ia memutar tubuhnya lalu berjalan keluar dari gudang sekolah, meninggalkan aku sendirian yang terisak didalam gudang.

* * *

"Thalia, kok pulangnya bukan sama Tania?" tanya papa saat aku baru saja menutup pintu rumah.

Dengan cepat aku langsung mengambil buku kecil dari dalam saku seragam sekolahku dan menulis beberapa kata di buku tersebut.

'ka tania gak mau pulang sama thalia.'

Setelah papa membaca apa yang aku tulis, beliau berdecak dan pergi meninggalkanku begitu saja. Aku pun langsung pergi ke kamar untuk mengganti seragamku.

Baru saja aku ingin membuka pintu, namun ada suara yang menghentikan gerak tangan ku.

"Natal, baru pulang sekolah?" tanya seseorang yang suaranya sudah lama tidak aku dengar.

Sejurus kemudian aku berbalik ke belakang dan menemukan Kak Nathan berdiri di depan pintu kamarnya. Aku tersenyum senang karena akhirnya aku bisa melihat kakak kesayanganku itu lagi sekarang.

"Enggak kangen sama gue, nih?" ia merentangkan tangannya, memberikan isyarat agar aku memeluknya.

Aku menggeleng dengan kuat lalu mengambil buku kecil yang biasa aku bawa dari saku seragam.

'harusnya ka nathan yang kangen aku!'

Setelah menulisnya, aku menghadapkan buku tersebut ke arah Kak Nathan agar ia membacanya. Kak Nathan langsung berjalan ke arahku dan memeluk tubuh mungilku dengan erat.

"Ternyata masih belum, ya," katanya sambil masih mendekapku. Aku hanya bisa tersenyum pahit dalam pelukannya.

Postingan populer dari blog ini

gitaris

larut malam